Pages

Cerpen

Ayahnya Ayuv merasa dan yakin bahwa Ayuv tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Ayuv tidak bisa diam dan punya rasa ingin tahu, tidaklah menjadikannya berbeda sekali dengan anak-anak lain. Apakah Ayuv dianggap autis? Jika diperhatikan perilaku Ayuv, tidaklah menunjukkan ciri-ciri dia anak autis. Ayuv berbicara dengan orang lain melalui kontak mata, ia mau bersosialisasi dengan orang lain, mengajak main dan suka bercanda, sudah bisa membaca, meski kadang-kadang dia tidak begitu peduli dengan sekitarnya tatkala sedang serius dengan sesuatu yang menarik perhatiannya. Ayuv senang berbicara dengan orang, cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya, suka membaca buku-buku, dan mau berbagi bekal yang dibawanya dengan teman-temannya.
Perkataan Bu Guru bahwa Ayuv sebaiknya dikirim ke SLB, sangat mengganggu pikiran Ayahnya Ayuv, bagaimana seorang guru menyimpulkan hal tersebut terhadap muridnya yang baru sekolah tidak lebih dari jari satu tangan, sebenarnya ada perasaan tersinggung dan sekaligus bingung dengan sikap guru tersebut. Seakan, semua murid harus sama dalam tingkah lakunya, harus menjadi murid rata-rata yang sesuai dengan perilaku murid satu kelas. Penyimpangan sedikit akan menjadi masalah, guru tidak mau tahu dengan psikologi muridnya, tentang perkembangan anak didiknya, sehingga kurang dari seminggu sudah dapat menentukan bahwa seorang murid seperti apa dan lebih baik dikirim ke mana.
“Ayuv di sekolah belajar apa?”, tanya Ayahnya Ayuv ingin tahu dan penasaran.
“Di sekolah banyak mainan … di lemari Bu Guru juga ada”, jawab Ayuv dengan semangat.
“Oh banyak mainan ya, belajarnya apa di kelas?”, Ayahnya Ayuv kembali bertanya.
“Bu Guru tanya huruf-huruf, Ayuv kan udah tahu”, jawab Ayuv seperti tidak bersemangat sambil melanjutkan, “Ayuv ingin tahu benda-benda di kelas, banyak sekali Ayah”.
“Teman-teman Ayuv kan semuanya duduk di kursi, dengarkan Bu Guru”, kata Ayahnya Ayuv.
“Iya, Ayah! Ayuv juga duduk, terus Ayuv jalan-jalan … lihat-lihat”, celetok Ayuv dengan datar.
“Ibu Guru kan suruh anak-anak duduk yang rapi”, selidik Ayahnya Ayuv.
“Iya, Bu Guru tanya huruf-huruf dan angka-angka terus, Ayuv kan sudah tahu”, jawab Ayuv seperti nggak serius.
Ayahnya Ayuv tidak melanjutkan pembicaraan, Ayuv sudah gelisah ingin melakukan sesuatu. Ayuv bisa tidak konsentrasi diajak bicara, jika ia sudah mulai melakukan sesuatu, Ayahnya Ayuv menyadari hal itu. Ayuv langsung mengambil beberapa mainan, ia bermain seperti sedang berada dalam dunianya sendiri. Berhenti bermain, Ayuv membuka-buka buku dengan serius yang terkadang tertawa sendiri. Atau, Ayuv menonton film kartun di televisi yang juga terlihat begitu menikmati.
Pada hari ke-5, saat Ayahnya Ayuv menjemput, Bu Guru kelas memintanya untuk bertemu dengan kepala sekolah. Ayahnya Ayuv bingung kenapa kepala sekolah ingin ketemu. Ada apa? Apakah Ayuv telah melakukan sesuatu yang sangat aneh, sehingga kepala sekolah ingin bertemu. Sambil berusaha menghalau pikiran yang tidak-tidak, Ayahnya Ayuv berjalan menuju ke kantor kepala sekolah sambil mengganding tangan Ayuv. Sesampainya di kantor kepala sekolah, Ayuv langsung masuk seakan sudah begitu akrab dengan suasana kantor tersebut, saat bersamaan kepala sekolah mempersilakan masuk kepada Ayahnya Ayuv.
“Begini Pak, Ayuv ini anak pintar, dia suka bertanya dan rasa ingin tahunya besar, dia juga sudah bisa membaca”, kepala sekolah memulai pembicaraan.
“Ya, mudahan tidak terlalu merepotkan”, Ayahnya Ayuv menjawab sambil merasakan ada sesuatu yang membingungkan.
“Tidak Pak, Ayuv sering ke sini, dia tanya-tanya alat-alat peraga itu, rasa ingin tahunya besar sekali. Menurut kami, Ayuv sebaiknya ditangani secara khusus. Saya punya teman sesama guru yang anaknya juga seperti Ayuv”, kepala sekolah yang menyandang predikat kepala sekolah teladan tersebut melanjutkan apa yang ingin disampaikannya.
“Ibu bisa kasih alamat temannya ibu itu, nanti saya ingin tanya, biar mendapat penjelasan”, sela Ayahnya Ayuv sambil berusaha menutupi perasaan jengkel dan dongkol.
“Iya, nah ini alamatnya, bapak bisa tanya dengan dia, karena anaknya dia dikirim ke SLB tersebut”, kata kepala sekolah sambil menyodorkan alamat temannya.
“Terima kasih, Bu. Saya akan bertemu dengan dia”, kata Ayahnya Ayuv langsung berdiri dan memanggil Ayuv yang sedang mengamati alat peraga bentuk tubuh manusia, kemudian pergi dengan perasaan dan pikiran mempertanyakan sosok seorang guru yang barusan dihadapi.
Setelah mengantar Ayuv ke rumah, Ayahnya Ayuv langsung berangkat mencari guru temannya kepala sekolah berdasarkan alamat yang telah diberikan. Mencari alamatnya tidak sulit, karena alamat sekolah di mana guru tersebut mengajar. Ayahnya Ayuv langsung ke ruang guru, dan kebetulan jam istirahat, jadi bisa langsung ketemu yang bersangkutan.
“Maaf Bu mengganggu, saya tadi disarankan untuk menemui ibu, menanyakan sekolah khusu, katanya ibu juga punya anak yang sekolah di SLB”, Ayahnya Ayuv memulai pembicaraan dengan menyebutkan informasi itu berasal dari kepala sekolah yang temannya.
“Tidak apa-apa, Pak. Iya, benar anak saya sekolah di SLB, karena IQ nya di bawah 70, di sana dia mendapatkan penanganan khusu. Meja khusus, yang ada lubangnya ditengah, dan anak itu dimasukkan dalam lubang itu dengan dipasang penghalang agar tidak bisa ke mana-mana, sekarang syukur alhamdulillah anak saya sudah bisa sekolah normal”, temannya kepala sekolah menjelaskan dengan ringan.
“Oh, begitu ya, sekolahnya di mana?”, Ayahnya Ayuv menahan rasa marah dengan guru-guru yang menyarankan Ayuv masuk sekolah SLB, dan untuk menghargai temannya kepala sekolah itu dengan menanyakan alamat sekolah itu sebagai basa basi saja.
Dengan perasaan yang kesal dan berusaha ditutupi dihadapan temannya kepala sekolah itu, Ayahnya Ayuv pamit pulang dan mengucapkan terima kasih telah menjelaskan sekolah khusus tersebut. Dalam perjalanan pulang, Ayahnya Ayuv sudah memutuskan bahwa Ayuv harus pindah sekolah, masa anak seperti Ayuv disarankan untuk dikirim ke SLB seperti anaknya guru temannya kepala sekolah. Besok Sabtu, Ayuv tidak usah masuk lagi di sekolah itu, harus pindah ke sekolah lain biar sekolah jelek sekalipun.
Sampai di rumah, Ayahnya Ayuv bilang kepada adiknya untuk mencarikan sekolah lain, apapun sekolahnya. Adiknya langsung menyanggupi, pokoknya beres katanya, nanti kita bawa kepada guru temannya Ibu (neneknya Ayuv) yang hampir pensiun mengajar di salah satu SDN yang juga bagus. Ternyata, guru temannya neneknya Ayuv itu bilang masukkan saja ke sini, anak-anak itu memang begitu jangan khawatir, apalagi baru kelas satu, malah ada yang menangis terus minta ditunggui sama orang tuanya.
Hari senin, Ayuv diantar masuk sekolah barunya, dalam perjalanan Ayuv sempat bilang bahwa Ayah kelewatan sekolahnya, karena memang melewati sekolah yang kurang seminggu Ayuv menjadi muridnya.
(HE.Benyamine)

2 komentar:

ahimzafatih mengatakan...

bagus....sip kunjungin blog saya juga ya,,,

http://ahimzafatih.blogspot.com

aemtemite mengatakan...

Salam.
Menarik sekali cerpennya.
Hm, bagaimana pendapatnya tentang SLB dan sekolah umum, dan juga sekolah inklusif?

Posting Komentar